Beranda | Artikel
Adab Kepada Allah
10 jam lalu

Adab Kepada Allah merupakan kajian Islam yang disampaikan oleh: Ustadz Dr. Muhammad Nur Ihsan, M.A. dalam pembahasan Amalan-Amalan Hati. Kajian ini disampaikan pada Jumat, 30 Jumadil Awal 1447 H / 21 November 2025 M.

Kajian Tentang Adab Kepada Allah

Ini adalah cita-cita mulia setiap orang yang masih memiliki akal yang sehat, jiwa yang mulia, dan fitrah yang masih lurus. Sebab, di situlah letak kemuliaan dan keindahan hidup seseorang, di situlah derajat seseorang, dan hal itu merupakan indikator kemuliaan jiwa, kebaikan jiwa, kesucian hati, dan keimanan.

Adab dan etika bukan hanya sebatas dalam berinteraksi dengan sesama, tetapi ternyata adab mencakup dimensi yang luas. Adab mencakup bagaimana beradab kepada Allah ’Azza wa Jalla , beradab kepada Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam dan syariat agama Allah, serta beradab kepada sesama manusia.

Dalam keilmuan disiplin ilmu yang berkaitan dengan etika dan adab, ada yang dinamakan dengan Ilmu Adab. Ilmu ini dipelajari dengan harapan melahirkan karakter yang mulia, jiwa yang baik, dan beradab.

Adab Menurut Imam Ibnu Qayyim

Imam Ibnu Qayyim Rahimahullah menjelaskan bahwa Ilmu Adab adalah sebuah disiplin ilmu yang berusaha untuk memperbaiki lisan dan tutur kata. Tujuannya adalah agar pembicaraan dan perkataan seseorang sesuai dan tepat, mendatangkan kemaslahatan, dan tepat pada waktunya. Seseorang harus berusaha untuk terus memperbaiki tutur katanya agar lisannya tidak mengucapkan sesuatu yang bertentangan dengan agama, syariat, tata krama, dan etika.

Hal ini merupakan bagian dari salah satu cabang adab secara umum dalam beragama, berinteraksi, dan menjalani hidup. Tutur kata seseorang adalah cerminan tentang kebaikan seseorang, cerminan tentang hati dan jiwanya, serta cerminan kepribadiannya.

Imam Ibnu Qayyim Rahimahullah menjelaskan bahwa adab terbagi menjadi tiga macam, dan ketiganya mencakup agama secara keseluruhan:

  • Adab kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
  • Adab kepada Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam dan syariat Allah
  • Adab bersama manusia

Pemahaman yang sempit dan keliru adalah anggapan bahwa adab hanya sebatas berinteraksi dengan manusia. Padahal, adab mencakup substansi yang lebih luas. Berusaha untuk baik bukan hanya kepada sesama, tetapi juga kepada Yang Menciptakan manusia (Allah ’Azza wa Jalla ) dan kepada yang membimbing manusia dalam menjalani hidup dengan syariat Allah (Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam ).

Adab Bersama Allah Subhanahu wa Ta’ala

Imam Ibnu Qayyim Rahimahullah menjelaskan bahwa adab kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala terbagi menjadi tiga macam.

Pertama: Menjaga Muamalah kepada Allah

Menjaga muamalah (interaksi) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar jangan sampai muamalah tersebut dinodai oleh sesuatu yang mengurangi nilainya. Muamalah kepada Allah yang dimaksud adalah beribadah dan taat kepada-Nya. Ketaatan dan ibadah yang dilakukan kepada Allah ’Azza wa Jalla tidak boleh dinodai oleh sesuatu yang mengurangi nilai ibadah tersebut.

Hal yang menodai ibadah tersebut—yang mana ibadah itu dibangun di atas keikhlasan dan ketulusan— adalah kesyirikan (besar maupun kecil), riya’, sum’ah.

Seorang mukmin harus waspada dari seluruh hal-hal yang akan mengurangi etika adab kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Ia wajib menjaga ibadah tersebut jangan sampai ternodai oleh kesyirikan (besar maupun kecil), seperti riya’ (ingin dilihat) dan sum’ah (ingin didengar). Apalagi kesyirikan yang besar, yang akan membatalkan tauhid dan keimanan seseorang.

Kedua: Menjaga Hati Agar Tidak Berpaling kepada Selain Allah

    Poin kedua adalah menjaga hati agar tidak melirik atau berpaling kepada selain Allah ’Azza wa Jalla. Hati adalah sumber kebaikan, bejana tempat ilmu, tempat cinta, pengagungan, takut, dan berharap. Hati tersebut seharusnya hanya bergantung kepada Yang Mahakuasa yang menciptakannya. Di dalamnya hanya ada cinta kepada Allah, tidak berpaling pada selain-Nya, hanya tawakal kepada Allah, bergantung kepada Allah, berharap kepada Allah, dan takut kepada Allah. Hati yang salim (suci, selamat, bersih) hanya menghadap kepada Allah, terpaut kepada-Nya, khusyuk, dan konsentrasi hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

    Ketiga: Menjaga Keinginan (Iradah)

      Poin ketiga adalah menjaga keinginan (iradah). Setiap orang memiliki keinginan dan hasrat. Keinginan tidak boleh terpaut atau menginginkan sesuatu yang mendatangkan murka Allah ’Azza wa Jalla. Hendaklah selalu ditanamkan dalam hati dan jiwa bahwa hanya menginginkan apa yang mendatangkan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala, jangan sampai ada hasrat melakukan sesuatu yang akan mendatangkan murka Allah ’Azza wa Jalla. Ini dalam rangka untuk menjaga adab kita kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

      Seorang yang memiliki ketiga perkara tersebut—menjaga muamalahnya (ibadahnya) agar tidak ternodai oleh kesyirikan dan dosa, hatinya tidak berpaling pada selain Allah, dan keinginannya terpaut dengan sesuatu yang diridhai Allah ’Azza wa Jalla—itulah seorang yang memiliki adab kepada Allah.

      Seseorang yang tutur katanya baik dan muamalahnya baik kepada sesama manusia, tetapi ketiga hal ini tidak ada di hatinya, maka ia adalah orang yang tidak beradab kepada Allah ’Azza wa Jalla. Walaupun ia memiliki ilmu yang banyak, tidak banyak manfaatnya.

      Inilah maksud perkataan ulama salaf. Imam Abdullah ibn Mubarak Rahimahullah mengatakan: “Kebutuhan kita kepada sedikit adab lebih besar daripada kebutuhan kita kepada banyaknya ilmu.” Orang yang banyak belajar tapi tidak ada perubahan dalam sikap dan prilaku kepada Allah, maka yang demikian itu tentu tidak banyak manfaatnya.

      Contoh Adab Para Nabi dalam Berdoa

      Para Anbiya adalah orang-orang yang memiliki adab yang tinggi kepada Allah ’Azza wa Jalla dalam berkomunikasi, bermuamalah, dan memohon kepada-Nya. Permohonan dan ucapan doa mereka dihiasi dengan adab kepada Allah ’Azza wa Jalla.

      Pertama: Adab Nabi Isa ‘Alaihis Salam

        Ketika Nabi Isa ‘Alaihis Salam ditanya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat:

        وَإِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَأَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَٰهَيْنِ مِنْ دُونِ اللَّهِ ۖ قَالَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ ۚ إِنْ كُنْتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ ۚ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ ۚ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ

        “(Ingatlah) ketika Allah berfirman, ‘Wahai Isa putra Maryam! Engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang, ‘Jadikanlah aku dan ibuku dua tuhan selain Allah?’ (Isa) menjawab, ‘Mahasuci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (untuk mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya, tentu Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib.’” (QS. Al-Ma’idah [5]: 116)

        Nabi Isa ‘Alaihis Salam tidak langsung menjawab, “Saya tidak pernah mengatakan hal itu,” tetapi dengan ungkapan yang penuh adab kepada Allah: “Jika aku pernah mengatakannya, tentu Engkau telah mengetahuinya.” Beliau melanjutkan, “Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku, dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu.”

        Kedua: Adab Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam

          Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam dalam bertutur kata kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala mengucapkan:

          الَّذِي خَلَقَنِي فَهُوَ يَهْدِينِ ‎﴿٧٨﴾‏ وَالَّذِي هُوَ يُطْعِمُنِي وَيَسْقِينِ ‎﴿٧٩﴾‏ وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ ‎﴿٨٠﴾

          “Dialah (Allah) yang menciptakanku, lalu Dia yang memberi petunjuk kepadaku. Dan Dia yang memberi makan dan minum kepadaku. Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku.” (QS. Asy-Syu’ara [26]: 78-80).

          Beliau menisbatkan penciptaan, petunjuk, makanan, dan minuman langsung kepada Allah ’Azza wa Jalla. Namun, tatkala sakit, beliau berkata, “Dan apabila aku sakit.” Beliau tidak mengatakan “Apabila Allah memberikan sakit kepadaku.” Ini adalah adab dalam bertutur kata kepada Allah ’Azza wa Jalla dengan menisbatkan takdir sakit pada dirinya, meskipun sakit itu dengan izin Allah.

          Ketiga: Adab Khadir ‘Alaihis Salam

            Dalam kisah Nabi Musa ‘Alaihis Salam dan Khadir, Khadir menunjukkan adab dalam menisbatkan perbuatan. Saat menghancurkan kapal, Khadir menisbatkan perbuatan buruk (menenggelamkan/merusak) kepada dirinya sendiri (meskipun itu dengan izin Allah ’Azza wa Jalla):

            …فَأَرَدتُّ أَنْ أَعِيبَهَا…

            “Maka aku ingin merusaknya (kapal itu).” (QS. Al-Kahf [18]: 79).

            Tapi ketika membangun dinding, Khadir menisbatkan kebaikan (memperbaiki dinding untuk dua anak yatim) kepada kehendak Allah ’Azza wa Jalla:

            …فَأَرَادَ رَبُّكَ أَن يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزَهُمَا…

            “Maka Rabbmu menghendaki agar keduanya (anak yatim) itu sampai dewasa dan keduanya mengeluarkan simpanannya (harta peninggalan orang tua mereka).” (QS. Al-Kahf [18]: 82).

            Keempat: Adab Nabi Musa ‘Alaihis Salam

              Ketika Nabi Musa ‘Alaihis Salam keluar dari Mesir dan menyelamatkan diri, ia beristirahat di bawah sebatang pohon. Setelah membantu dua wanita mengambil air untuk ternak mereka, beliau kembali berteduh. Dalam kondisi fakir, beliau mengadu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan ungkapan yang santun dan beradab:

              …فَقَالَ رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ

              “Maka dia (Musa) berdoa, ‘Ya Rabbku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.’” (QS. Al-Qasas [28]: 24)

              Beliau mengungkapkan isi hatinya, mengadu kepada Allah ’Azza wa Jalla tentang kefakirannya dengan menggunakan ungkapan yang sangat lembut bahwa ia sangat memerlukan kebaikan yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

              Download MP3 Kajian Adab Kepada Allah


              Artikel asli: https://www.radiorodja.com/55818-adab-kepada-allah/